Catatan:
Untuk bagian 2 bahasa Indonesia ada di SINI
Saya yakin ini adalah pertanyaan yang ada di benak pikiran banyak orang pada saat ini.
Kenapa dia turun? Kenapa ATC memberiannya ijin untuk turun?
Saya tidak suka mencari kambing hitam, tetapi saya juga ingin pertanyaan saya dijawab. Untuk jawaban resmi, kita harus menunggu dari pihak tim investigasi, namun untuk sementara, saya ingin menelusuri sendiri kemungkinan² penyebab kecelakaan ini.
Saya ingin simak kembali peta yang saya muat di artikel saya di hari pertama kecelakaan ini:
AFC chart Halim terbitan Lido (Lufthansa) |
Kita bisa melihat bahwa jelas ada pegunungan diselatan lingkaran MSA (Minimum Sector Altitude) yang ber-radius 25 nautical miles dari Halim. MSA untuk sektor selatan adalah 6900 kaki, dan MORA (Minimum Off Route Altitude, ketinggian minimum diluar rute airway) untuk area Gunung Salak adalah 11900 kaki, dikarenakan adanya Gunung Pangrango di sebelah timur petak grid tersebut.
Terbang IFR vs VFR… Instrument vs Visual Flight Rules
Pertanyaan: Jika ini adalah penerbangan IFR, dengan MSA 6900 kaki dan MORA 11900 kaki, kenapa dia turun?
Pertanyaan berikutnya adalah, “Ini penerbangan IFR atau VFR?” Kalau ini penerbangan VFR, seharusnya dia terus menjaga jarak pandang 5 kilometer dan menghindari awan dan daratan. Apakah dia lalu kehilangan kondisi terbang visual (VMC / Visual Meteorological Conditions)?
Jika anda kehilangan VMC dalam penerbangan visual, anda memasuki kondisi terbang instrument (Instrument Meteorological Conditions / IMC). Hal yang paling benar jika ini terjadi adalah, KELUAR! Jika tidak yakin jalan keluar dari kondisi IMC yang terbaik, lebih baik berbalik arah (berputar 180°) karena itu jalan pasti keluar kembali ke VMC dan mungkin adalah cara paling cepat. Jika anda ingin nyelup dibawah awan, yah itu memungkinkan, selama anda tahu kondisi medan dibawah, jika tidak, lebih baik anda tidak turun. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, “apakah dia tahu ada gunung disitu?“
Jika saya hanya bertanya-tanya seputar ini, saya tidak akan kemana-mana. Lalu saya bertanya…
Pada penerbangan pertama, pergi kemana mereka?
Saya bahas ini dengan kawan saya yang juga penggemar penerbangan, Andi D (@infohots) yang ikut terbang di penerbangan demo pertama hari itu. Dia memang tidak bisa melihat banyak karena dia tidak duduk di kursi jendela, namun dia ingat penerbangannya memang hanya sebentar dan tidak ada manuver² aneh² (seperti yang diduga oleh beberapa pihak). Penerbangan tersebut lepas landas dan mendarat di runway 24 di Halim Perdanakusuma.
Dia sempat mengambil foto cockpit sebelum mendarat di Halim:
Panel co-pilot SSJ100 di penerbangan demo pertama ketika mendekati Halim Perdanakusuma |
Kita bisa melihat bahwa pesawat sedang terbang dengan heading 029°, bekecepatan 238 knot indicated airspeed, pada ketinggian 7200 kaki, dengan posisi sekitar 10 nautical miles dan arah sudut kira 150° dari Halim. Waypoint berikut yang ada di FMC (Flight Management Computer) adalah AL01, sebuah pseudo-waypoint (dari AL 150° dengan jarak sekitar 3 nautical mile) yang berjarak sekitar 10.1 nautical miles dari pesawat ketika foto diambil. AL01 ini dibuat agar pesawat dapat belok secara mulus ke non-directional beacon bernama AL, untuk kemudian melakukan ILS approach ke runway 24. Terlihat juga bahwa autopilot sedang menyala dan menggunakan modus Heading Select, Speed Select, dan Vertical Speed Select (029°, 230 knots, -1300 feet per minute), dengan Altitude Select (seleksi ketinggian) di 6000 kaki. Sudut kiri atas Navigation Display memperlihatkan angin dari arah 150° dengan kecepatan 8 knot, ground speed 274 knot, dan true airspeed 270 knot. Kotak oranye yang mengelilingi tulisan “SPEED” menandakan bahwa kecepatan pesawat melebihi yang diseleksi dan sistim autothrust sudah memerintahkan idle thrust.
Garis hijau memperlihatkan jalur terbang yang dikalkulasi oleh FMC, dan terlihat bahwa pesawat sudah terbang lurus selama 10 nautical mile sebelum foto ini diambil. Ada juga garis putus² berwarna biru muda yang memanjang dari Halim ke ujung bawah layar. Dengan hitungan kasar, saya estimasi garis ini mengikuti radial 200°. Kebetulan, airway R206 berawal dari Halim VOR ke arah 195° dengan MEA (minimum enroute altitude) 10000 kaki.
Uji Awal sebuah Teori
Dimanakah garis hijau dan garis biru muda tersebut ketemu? Mari kita menggunakan posisi yang gampang, 30 nautical miles dari Halim di airway R206.
Kita bisa memprogram Flight Management Computer seperti ini:
1. Lepas landas dari Runway 24
2. Terbang ke HLM195/30 (radial 195° sejauh 30 nautical miles dari Halim VOR)
3. Lanjut ke AL150/3 (radial 150° sejauh 3 nautical miles dari AL non-directional beacon)
4. Lanjut ke AL NDB
5. Dilanjutkan dengan melakukan ILS approach Runway 24.
6. Ketinggian jelajah di set ke 10000ft
Jarak total penerbangan ini adalah sekitar 80 hingga 85 nautical miles
Prakiraan awal jalur penerbangan demo pertama berdasarkan foto Biru Muda: Rencana, Hijau: Jalur (Perkiraan) |
Perubahan Runway untuk Penerbangan Demo Kedua
Menurut Andi, dia mendengar diskusi bahwa penerbangan berikutnya akan menggunakan menggunakan Runway 06 (permintaan ATC). Alasan perubahan tersebut adalah agar pesawat tersebut tidak berpotensi konflik di sisi utara dan timur laut Halim dengan alur traffic, yang berangkat dari runway 07L dan 07R Soekarno-Hatta (CGK/WIII). Perubahan runway ke 06 di Halim akan menambah separasi traffic CGK maupun yang akan masuk ke Halim di sore hari.
Hal ini penting bagi ATC Jakarta, yang setiap harinya dibanjiri pesawat pada jam sibuk. Penerbangan demo kedua akan berjalan di awal “Golden Hour”, istilah yang digunakan oleh kawan² saya untuk menggambarkan jam sibuk penerbangan sore hari di CGK.
Dengan perubahan runway tersebut ke 06, waypoint untuk penerbangan demo kedua diasumsikan menjadi:
1. Lepas landas dari Runway 06 Halim
2. Terbang ke HLM195/30 (radial 195° sejauh 30 nautical miles dari Halim VOR)
3. Lanjut ke HLM250/5 (radial 250° sejauh 5 nautical miles dari Halim VOR, yang kira² adalah awal untuk final approach runway 06 sesuai VOR approach untuk runway 06 karena tidak ada ILS untuk runway ini)
4. Mendarat di Runway 06 Halim.
5. Ketinggian jelajah di set ke 10000 kaki
Jarak totak penerbangan ini menjadi hanya 55 hingga 60 nautical miles.
Seperti penerbangan sebelumnya, ketinggian jelajah 10000 kaki ini seharusnya cukup untuk tidak menimbulkan resiko dengan gunung.
Estimasi jalur penerbangan kedua. Biru-Muda: Waypoint-to-waypoint. Green: Estimasi. |
Efek dari perubahan Runway dan metoda Fly-By oleh FMC
Penerbangan kedua ini jauh lebih pendek dari yang pertama, hanya 57 nautical miles. Setelah pesawat akan belok untuk kembali ke Halim, sisa jaraknya akan kurang dari 30 nautical mile. Ditambah dengan efek perhitungan FMC untuk berbelok menggunakan metode “fly-by”, jarak totalnya yang aktual akan lebih pendek.
Kecuali jika sebuah waypoint ditentukan sebagai fly-over waypoint FMC akan selalu menghitung waypoint tersebut dengan metode fly-by, dimana pesawat akan belok sebelum mencapai waypoint, agar tidak bablas dari garis ke waypoint berikutnya. Inilah kenapa untuk kedua penerbangan tersebut saya menggunakan warna biru muda untuk jalur yang direncanakan oleh FMC, dan warna hijau untuk menggambarkan perkiraan jalur (akan) diterbangkan secara aktual oleh FMC. Namun FMC tetap akan membatasi jarak “potong” yang bisa terjadi, dan ini tergantung dengan kecepatan pesawat. Perubahan arah yang terlalu banyak dalam sebuah waypoint akan menghasilkan pesawat memotong jalur untuk belok dengan batas toleransi yang telah ditentukan oleh FMC, namun tetap akan bablas dari garis menuju waypoint berikutnya. Hal ini dikarenakan FMC juga harus tetap menjaga akurasi perhitungan navigasi dan posisi pesawat agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang direncanakan.
FMC melakukan ini karena dia didesain untuk optimalisasi penerbangan dari segi waktu, jarak, dan biaya. Fly-by akan mengurangi jarak total sedangkan fly-over akan menambah jarak yang harus ditempuh. Masalah yang timbul dari metode fly-by adalah sulitnya mengulangi atau melakukan simulasi yang akurat untuk jalur yang diambil karena sangat tergantung dengan kondisi aktual (angin, kecepatan, dll). Jadi, garis hijau di gambar ini hanyalah gambaran kasar.
Dengan gambaran kedua penerbangan ini bisa dilihat bahwa pemangkasan yang dilakukan oleh FMC dalam sebuah penerbangan pendek akan sangat mempengaruhi jarak total penerbangan. Ini akan mengakibatkan titik Top of Descent akan tiba jauh lebih cepat.
Menghitung jarak untuk descent
Dengan pengertian masalah metode fly-by oleh FMC, bisa diperkirakan top of descent berada di titik sebelum pesawat harus berputar balik ke Halim. Maka dengan ini, permintaan pilot untuk menurunkan ketinggian bisa terjadi diatas Bogor Training Area atau malah sebelumnya.
Untuk kembali ke Halim, pesawat harus belok hampir 180°. Jika pesawat belok di sekitar 25 nautical mile dari Halim, maka setelah selesai belok, pesawat juga akan berada di posisi sekitar 25 nautical mile dari Halim, dan pesawat juga akan sempat berada cukup dekat dengan waypoint di posisi 30 nautical mile dari Halim. Dari setelah selesai belok, pesawat berada sekitar 20 nautical mile dari titik awal final approach, termasuk jarak yang diperlukan untuk mengurangi kecepatan untuk bisa mengeluarkan flaps untuk approach dan jarak ekstra ini kira² akan memakan 2 hingga 5 nautical mile. Angka² ini tentu akan dihitung dikepala sang pilot, dan kemungkinan perhitungannya adalah seperti berikut:
- 5 nautical mile untuk mengurangi kecepatan untuk approach, jadi;
- 15 nautical mile untuk turun setelah selesai belok.
- 15 nautical mile berarti saya bisa turun sekitar 5000 kaki.
- Agar bisa ada pada ketinggian 1500 kaki dalam jarak 15 nautical mile, berarti saya harus ada pada ketinggian 6000 kaki atau lebih rendah pada saat selesai belok.
- Untuk turun 4000 kaki, saya butuh 12 nautical miles.
- Pada kecepatan 300 knots true airspeed, belok 180° akan memakan jarak sekitar 8 nautical mile berarti saya akan turun sekitar 2000 hingga 2500 kaki sewaktu belok.
- Berarti saya harus mulai turun kira² 4 nautical mile sebelum mulai belok, berarti sebelum mencapai 21 nautical mile dari Halim sebelum saya belok.
- Biar ada jarak lebih sedikit, mungkin lebih baik jika saya mulai turun sekitar 17 nautical mile dari Halim sebelum belok.
Kebetulan, posisi 17 nautical mile dari Halim ada didalam Bogor Training Area, bahkan lebih dekat dengan sisi utara area tersebut. Menurut keterangan ATC, mereka boleh turun ke 6000 kaki karena mereka berada di area tersebut, dan penjelasan ini sangat masuk akal tanpa harus menyalah gunakan kemampuan kita untuk melihat kebelakang.
Dari peta yang diterbitkan oleh Lido, kita bisa melihat implikasi fatal dari ini. Pesawat menabrak gunung di ketinggian sekitar 6200 kaki di posisi sekitar 27 sampai 28 nautical mile dari Halim. Untuk turun 3800 kaki dibutuhkan jarak sekitar 11 hingga 12 nautical mile. Berarti, kemungkinan mereka mulai turun hanya 150 nautical mile dari Halim. 2 nautical mile mungkin kedengarannya cukup jauh, tapi itu hanyalah 24 detik dengan kecepatan 300 knot.
Tapi seharusnya dia tau ada gunung didepan dia???
Ya, tentu saja, tetapi itu adalah kita melihat kebelakang ke hasil dari kejadian hingga dapat mengambil kesimpulan ada yang salah. Marilah kita buang 20/20 hindsight kita dalam beranalisa.
Pertanyaan Pertama, apakah dia melihat ada gunung?
Menurut artikel Kompas pada tanggal 11 Mei, Pusat Ilmu Pengetahuan Atmosfir Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, berdasarkan gampar satelit cuaca, ada kemungkinan bahwa pada saat kejadian, pesawat dikelilingi oleh awan termasuk awan cumulonimbus di area sekitar Gunung Salak, sehingga kemungkinan besar, gunung tersebut tertutup awan.
Info cuaca dari Pusat Ilmu Pengetahuan Atmosfit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional |
Pertanyaan Kedua, apakah dia tau ada gunung?
Kita enak bisa melihat peta yang ada informasi kontur tanah. Pihak ATC melaporkan bahwa awak pesawat telah menerima briefing mengenai Bogor Training Area, termasuk penjelasan kondisi medan, dan area sekitarnya termasuk Gunung Salak. Peta yang diperlihatkan kemungkinan adalah peta yang digunakan untuk Visual Flying Rules, yang tidak mencantumkan posisi airway, tetapi penuh dengan informasi untuk penerbangan VFR. Ya, pilotnya menandatangani dokumen yang menyatakan dia sudah menerima briefing tersebut, namun, dia berencana untuk terbang di ketinggian 10000 kaki. Gunung Salak puncaknya hanya setinggi 7200 kaki. Perhatian mereka, mungkin akan lebih diarahkan ke Gunung Pangrango yang jauh lebih besar dan lebih tinggi.
AFC chart Halim terbitan Lido (Lufthansa) |
Dari chart Lido diatas, keliatan bahwa MORA (Minimum Off Route Altitude) di sekitar Gunung Salak adalah 11900 kaki. Ini dikarenakan adanya gunung Pangrango di sebelahnya dengan ketinggian 9900 kaki.
Crew pesawat juga penggunakan chart dari Jeppesen. Mereka tidak akan menggunakan chart untuk Standard Instrument Departures (SIDs) atau Standard Arrivals (STARs), karena mereka tidak terbang ke kota lain mereka juga tidak menggunakan en-route chart kecuali mungkin untuk melihat MORA. Approach chart untuk Halim hanya memperlihatkan MSA 6900 kaki di selatan Halim VOR, dan validitas informasi tersebut hanya sampai batas lingkaran MSA (25 nautical mile), dan Gunung Salak berada diluar lingkaran tersebut.
Di foto² dari Andi D (ada di bagian 2), terlihat awak pesawat hanya menggunakan approach chart dan ground chart ketika foto² tersebut diambil. Tidak ada en-route chart, ataupun VFR chart (ya, VFR chart emang besar meskipun sudah dilipat), namun kalau dia terbang IFR, kenapa butuh VFR chart? Jadi sepertinya dia tidak tau Gunung Salak lokasi persisnya ada dimana.
Pertanyaan ketiga, bisakah mereka melihat Gunung Salak di penerbangan pertama? Semestinya bisa kan melihat gunung setinggi 7200 kaki pada saat mereka terbang di 10000 kaki?
Belum tentu. Jika kita lihat video ini:
Video oleh Fotografersha/Lystseva Marina/@lystseva
Kita bisa lihat di waktu 3:39 hingga 3:50 kondisi jarak pandang secara umum pada penerbangan pertama, yaitu kurang dari 10 kilimeter. Kondisi ini terlihat kembali antara 5:10 dan 5:10 dimana kondisi jarak pandang kira² 7 kilometer.
Dari 3:39 sampai 3:50, kita bisa lihat kira² kondisi pada penerbangan pertama, jarak pandangnya kurang dari 10 kilometer. Pada cuplikan take-off yang diambil dari cabin di 5:10 sampai 5:30, jarak padang bisa diperkirakan adalah sekitar 7 kilometer untuk di Jakarta sendiri.
Pada penerbangan pertama jarak yang tempuh untuk mencapai posisi 30 nautical mile dari Halim lebih dekat dari penerbangan kedua. Ini mengakibatkan kebanyakan dari waktu antara take-off hingga posisi 30 nautical mile, diisi oleh pesawat sedang climbing ke 10000 kaki, dan Gunung Salak terhalang dari pengelihatan pilot karena sudut climbing tersebut dan posisi glareshield (permukaan atas panel depan kokpit), dan setelah pesawat mencapai 10000 kaki, jika Gunung Salak pun bisa kelihatan, posisinya akan berada dibawah horizon dan tidak menarik perhatian. Perhatian crew justru akan lebih fokus ke Gunung Pangrango yang lebih tinggi mencapai 9900 kaki, apalagi pesawat berbelok ke kiri pada saat akan kembali ke Halim.
Gambaran ini cenderung akan tercetak di otak kedua pilot dalam persiapan untuk penerbangan kedua. Jika mereka sampai tidak bisa melihat pegunungan, mereka akan lebih fokus kepada menghindari Gunung Pangrango sehingga, Gunung Salak secara tidak sengaja “terlupakan”.
Mencari Gunung Salak – Penggemar Flight Simulator sebagai kelinci percobaan
Otak iseng saya akhirnya mencari cara untuk menguji teori saya diatas. Saya meminta beberapa kawan saya yang sering main Flight Simulator untuk melakukan “rekonstruksi kejadian SSJ100”. Yang layak ikut haruslah memiliki real terrain mesh agar bisa mensimulasikan posisi gunung dengan akurasi yang cukup, dan pesawat yang mereka ingin gunakan haruslah pesawat jet yang memiki Flight Management Computer (FMC) dengan fungsi LNAV (lateral navigation) dan VNAV (vertical navigation). Yang mereka uji adalah:
- SimFlight 1: Lepas landas dari runway 24 Halim, lanjut ke posisi 45 nautical mile dari Halim di radial 195°, lalu kembali untuk mendarat di runway 24 Halim, dengan ketinggian jelajah 15000 kaki.
- SimFlight 2: Sama seperti SimFlight1, namun menggunakan runway 06 di Halim.
- SimFlight 3: Lepas landas dari runway 24 Halim, lanjut ke posisi 30 nautical miles dari Halim di radial 195°, lalu kembali untuk mendarat di runway 24 Halim, dengan ketinggian jelajah 10000 kaki.
- SimFlight 4: Sama seperti SimFlight 3, namun menggunakan runway 06 di Halim.
Di semua penerbangan yang mereka lakukan saya meminta cuaca di set ke kondisi langit cerah dengan jarak pandang tidak terbatas, untuk membesar-besarkan efek gunung ke gambaran di otak mereka dengan apa yang mereka lihat.
Setiap debriefing dimulai dengan mereka menanyakan, “Buat apa ini?” Mereka mengira mereka akan mensimulasikan kecelakaannya bukan factor² penyebabnya. Temuannya antara lain adalah:
- Semuanya mengatakan bahwa sewaktu climbing, gunung yang mereka lihat adalah Pangrango dan bukan Salak.
- Semuanya mengatakan bahwa sewaktu cruising, mereka lebih memerhatikan Gunung Pangrango karena puncaknya hampir setinggi ketinggian jelajah mereka.
- Semuanya benar² memerhatikan Gunung Pangrango ketika berbelok ke kiri untuk kembali ke Halim untuk approach dan landing di runway 24.
- Tidak ada yang menyatakan kesadaran atau kewaspadaan mereka mengenai Gunung Salak, dan tidak ada yang bisa memberikan posisi Gunung Salak relatif dengan posisi pesawat mereka.
Sayapun bertanya dengan beberapa pilot yang sehari-hari keluar masuk dari Bandara Soekarno-Hatta, dimana Standard Instrument Departure ke timur mereka biasanya melewati Halim VOR. Semuanya rata² tahu adanya 2 gunung tersebut, tapi, seperti praduga saya, tidak ada yang mengetahui jarak dari Halim ke 2 gunung tersebut. Temuan ini juga termasuk mereka yang dulunya sering latihan diatas Bogor, karena mereka terbiasa dengan bepikir, “jangan keluar dari training area ke arah selatan.” Mereka² semua umumnya setuju dengan garis besar temuan saya dari uji coba flight simulator tersebut.
Kesimpulan untuk Bagian 1:
Artikel blog ini tidak mencoba untuk menjelaskan atau berspekulasi kejadian kecelakaan tersebut, namun hanya menggambarkan upaya pencarian penjelasan kenapa kok pilot meminta ijin untuk menurunkan ketinggian pesawat dan kenapa permintaan tersebut diijinkan. Menurut saya, sepertinya mereka tidak melihat Gunung Salak ketika meminta ijin untuk turun dan kemungkinan besar kekhawatiran mereka mengenai dataran tinggi dikarenakan keberadaan Gunung Pangrango di area tersebut.
Sungguh ironis bahwa hal sesepele pergantian runway yang digunakan dapat merubah banyak hal² seputar situasi, kesadaran situasi, resiko, dan lain lain. Namun, yang terjadi sudah terjadi, dan sepertinya terjadi dengan alasan² yang sangat lumrah. Jika menurut anda penjelasan disini cukup logis, maka saya rasa kita bisa menolak alasan² berikut:
- Dugaan bahwa pilotnya sok jago, dan/atau ceroboh
- Dugaan bahwa ATC ceroboh dan berupaya melakukan cover-up (hei! Si ATC juga harus memonitor pesawat² lain selain yang satu ini!)
Descent terakhir bagi RA-97004 tampaknya bukan kesalahan, tetapi hasilnya mematikan.
Ini hanyalah “Spekulasi Objektif” menggunakan data dan informasi public. Tujuan artikel ini hanyalah untuk membantah spekulasi² dan tuduhan² yang kurang masuk akal. Untuk hasil resmi investigasi kecelakaan ini, mari kita tunggu laporan akhir investigasi dari KNKT.
Di Bagian ke-2, saya akan membahas analisa jalur penerbangan kedua demo flight berdasarkan informasi yang lebih terkini dibanding yang digunakan di bagian ini.
Note:
Artikel ini adalah terjemahan dari versi bahasa Inggris.
Update dari analisa ini akan dimuat di Bagian Ke-2.
Untuk informasi mengenai lokasi kejadian, baca: SSJ 100 crash site: The worst place in the whole mountain.
analisa yang bagus, semoga bisa menjadi pelajaran agi kita semua dan tidak saling menyalahkan 1 sama lain.
analisa yang bagus…dan cukup membingungkan bagi saya hehe 😀