Saya tahu topik ini mungkin sedikit keterlaluan, mari kita lihat dulu…
Bayangkan diri anda berada di dalam pesawat menuju landasan pacu ketika kapten tiba-tiba berbicara di Public Announcement pesawat dan mengatakan bahwa ada seseorang belum mematikan telepon genggamnya dan karena itu ia tidak dapat menggunakan radar cuaca pesawat karena gangguan tersebut dan meminta semua orang untuk pastikan ponsel mereka telah dimatikan. Tidak lama kemudian, pramugari berpatroli di kabin dan menemukan penumpang yang belum mematikan telepon genggamnya, kemudian terjadi argumen antara pramugari dan akhirnya penumpangpun mengalah.
Adegan semacam ini bukanlah hal yang aneh sejak makin maraknya ponsel di masyarakat sebagai alat komunikasi yang terlalu penting buat masing-masing, dan dengan revolusi selular kedua yaitu revolusi smartphone, penumpang merasa lebih terikat pada perangkat mereka dan kebutuhan mereka untuk menghubungkan mereka dengan dunia.
Mungkin si kapten memang mengada-ada bahwa dia tidak bisa menggunakan radar cuacanya, tapi mari kita simak skenario yang berikut ini:
Adegan semacam ini bukanlah hal yang aneh sejak makin maraknya ponsel di masyarakat sebagai alat komunikasi yang terlalu penting buat masing-masing, dan dengan revolusi selular kedua yaitu revolusi smartphone, penumpang merasa lebih terikat pada perangkat mereka dan kebutuhan mereka untuk menghubungkan mereka dengan dunia.
Mungkin si kapten memang mengada-ada bahwa dia tidak bisa menggunakan radar cuacanya, tapi mari kita simak skenario yang berikut ini:
Awak dari sebuah perusahaan yang memiliki armada jet pribadi buat keperluan pejabat tinggi perusahaan mengeluh mengenai gangguan pada ADF receiver pesawat yang terjadi beberapa kali. Pada suatu perjalanan, salah satu pilot pesawat melihat ADF receiver pesawat terganggu ketika penumpangnya, CEO nya dia, menyalakan Blackberry-nya sesaat sebelum mendarat, untuk melihat apakah dia punya email tentang pertemuan yang direncanakan setelah mendarat, dan persiapan-persiapan staff nya untuk pertemuan tersebut.
|
Nah, cerita kedua ini bukanlah fiksi. Para kru tidak bisa berbuat banyak terhadap ulah CEO yang menandatangani cek gaji mereka, tetapi semua itu berubah ketika pada sebuah approach ke bandara yang hanya memiliki NDB Approach sebagai instrument approach procedure, dengan kondisi cuaca yang berawan rendah. Seperti biasa, sang CEO menyalakan Blackberry-nya lagi, dan ADF receiver pesawat langsung membelok. Kapten penerbangan tersebut yang kebetulan adalah Chief Pilot perusahaan tersebut, langsung melakukan prosedur missed-approach/Go-Around, menaikkan pesawat ke ketinggian 10.000 kaki, lalu masuk ke kabin dan menuntut agar sang CEO menyerahkan Blackberry-nya, dengan alasan bahwa kalau si First Officer sedang tidak melihat ADF Receiver pesawat, mereka mungkin sudah mendarat diluar landasan. Sang CEO terpaksa menyerahkan Blackberry-nya sampai pesawat berhenti di apron dan mesin pesawat dimatikan. Sang Chief Pilot pun tidak mau lagi menyalakan mesin pesawat tanpa Blackberry sang CEO dimatikan dan diletakkan di kokpit pesawat, untuk setiap penerbangan di seri perjalanan kali itu.
Kita semua tahu bahwa masalahnya bukan pada spesifikasi ponsel, tetapi pada ponsel yang sedikit mlengse di luar spesifikasi. Alat consumer electronics tidak diuji secara individu seperti peralatan avionics pesawat untuk memastikan tidak adanya emisi elektromagnetik liar yang dapat mengganggu peralatan pesawat lainnya.
Dalam kasus interferensi di jet bisnis tersebut, akhirnya CEO membeli Blackberry baru dan yang lama diuji dan masalahnya ditemukan. Ketika sinyalnya tidak bisa nyantol pada sebuah menara sel, Blackberry butut tersebut mulai mencari menara BTS yang bisa dicantolin dengan melakukan transmisi dengan daya yang kuat, tetapi pada saat yang sama, juga mengeluarkan sinyal liar di frekuensi-frekuensi lain dengan kekuatan transmisi yang cukup lumayan.
Perusahaan ini akhirnya harus menguji semua perangkat elektronik yang digunakan oleh CEO dan kepala divisi yang ingin digunakan selama berada di pesawat, dan alat-alat yang gagal uji, dikirim kembali ke pabrik. Perusahaan ini tampaknya memiliki nasib buruk karena sekitar 2 – 3% dari perangkat yang diuji dianggap gagal, meskipun orang yang menceritakan kisah ini kepada saya yakin pada umumnya angka kegaalan tersebut cukup lebih rendah.
Tentunya akan sangat mahal untuk menguji dan mensertifikasi semua perangkat consumer electronicsi untuk dapat digunakan di pesawat terbang. Namun, saya melihat bahwa seringkali pelarangan penggunaan perangkat elektronik dalam pesawat ini seperti sebuah perang yang mustahil dimenangkan. Namun saya juga melihat banyak dari kasus gangguan yang terjadi di fase approach tidak bisa diulang dalam tes laboratorium. Saya juga pernah mendengar beberapa kejadian dimana pesawat yang sedang melakukan ILS approach sempat terlempar dari jalurnya karena gangguan ponsel.
Tapi coba perhatikan… kebanyakan kasus atau bahkan semua kasus yang terjadi, terjadi pada ketinggian rendah. Saya belum mendengar adanya kasus interferensi pada ketinggian tinggi, mungkin karena pada ketinggian tinggi, memang tidak ada gangguan interferensi, atau gangguan yang terjadi tidaklah lebih dari suara denyut elektronik yang memang menjengkelkan di kuping pendengar.
Lalu mengapa saya bisa mengatakan bahwa konektivitas kabin dapat mengurangi gangguan?
Ada dua poin utama:
1. Membuat perangkat seluler penumpang untuk memancar pada energi rendah
Sebagian besar masalah gangguan dari perangkat seluler disebabkan oleh transmisi bertenaga tinggi ketika mencari sebuah menara BTS, atau ketika berjuangan untuk perangkat untuk bisa mengaitkan sinyal mereka pada sebuah menara BTS. Instalasi picocells dalam pesawat yang terhubung ke darat melalui Air-to-Ground datalink atau SatCom datalink, dapat memungkinkan ponsel untuk dihubungkan ke “menara” sel di pesawat pada energi rendah, yang mengurangi atau bahkan menghilangkan transmisi radio frekuensi menyimpang dari perangkat tersebut.
Jadi menyediakan konektivitas, dapat mengurangi interferensi RF menyimpang dari perangkat seluler penumpang di pesawat.
Tapi ini tidak akan selalu memecahkan gangguan pada ketinggian rendah dengan sendirinya. Jika perangkat seluler diberi pilihan antara dua sumber sinyal dari menara seluler yang sama kuat, mana yang akan ia pilih? Setelah pesawat turun ke ketinggian yang lebih rendah, risiko perangkat selular mencantolkan sinyal ke sebuah menara BTS di darat akan meningkat… dan semakin rendahnya ketinggian pesawat, efek dari gangguan tersebut menjadi jauh lebih berbahaya. Jadi, cara ini tidak bisa diandalkan dengan sendirinya, mari kita lihat manfaat berikutnya…
2. Membujuk penumpang untuk mau mematikan ponselnya karena tidak harus menunggu lama hingga mereka boleh menyalakannya kembali
Kemauan orang untuk mematikan perangkat mereka ketika diperintahkan tergantung pada waktu mereka harus menunggu sampai mereka dapat aktifkan kembali alat mereka dan bisa terhubung dengan dunia. Semakin pendek waktu menunggu, semakin bersedia mereka mematuhi perintah.
Saya, seperti banyak orang, cukup kecanduan terhubung dengan dunia maya. Saya sangat tidak suka harus mematikan ponsel saya, tapi sebagai penumpang, itu adalah tanggung jawab saya untuk melakukannya. Tapi tidak semua orang bersedia untuk melakukannya. Banyak yang masih adu-nasib dengan terus terhubung hingga ke saat-saat terakhir sebelum pesawat mulai lepas landas, dan langsung menyalakan perangkat mereka ketika pesawat masih berkecepatan tinggi di landasan ada saat mendarat.
Sejak banyak maskapai penerbangan mulai memperbolehkan perangkat untuk tetap nyala selama berada di flight mode, saya dengan senang mematuhi instruksi tersebut dan mematikan ponsel begitu saya duduk dan mengenakan sabuk pengaman dan kemudian mengaktifkannya kembali dalam mode pesawat saat pesawat melewati ketinggian 10.000 kaki… yah, senangnya hanya sampai saya mulai menggunakan ponsel 3G (ya! namanya juga doyan banget!). Dan saya harus mengaku bahwa dari waktu-ke-waktu, bahwa saya pernah ikut adu nasib (dan juga pernah tertangkap beberapa kali!)
Tapi jujur saya percaya, jika saya dapat mengaktifkan ponsel saya dan terhubung dengan internet begitu pesawat sudah melewati 10.000 kaki, saya cenderung tidak akan lagi bergabung gerombolan adu nasib. Saya baru sekali saja bisa menikmati penerbangan yang dilengkapi dengan konektivitas internet di pesawat, dan pada saat itu saya sangat bersedia untuk mematikan ponsel saya ketika pesawat mulai bergerak, karena saya tahu bahwa dalam waktu kurang dari 1 jam kemudian, saya bisa langsung konek lagi.
Di Saudi Arabian dengan konektivitas yang disediakan oleh OnAir, mereka mengambil cara yang cukup unik dalam menangani kasus penumpang yang lupa mematikan ponselnya. Karena banyaknya orang lupa untuk mematikanponsel mereka, mereka terpaksa tetap menyalakan picocell dipesawat setiap saat bahkan sewaktu di darat dan pada saat pesawat berada pada ketinggian rendah. Hal ini tidak hanya mengurangi gangguan, tetapi memungkinkan mereka untuk mengingatkan penumpang lupa mematikan ponsel mereka melalui cell broadcast atau siaran sms (tentunya, sekalian mengiklankan layanan konektivitas mereka).
Baiklah, mari kita kembali ke dua poin tadi:
1. Membuat perangkat seluler penumpang untuk memancar pada energi rendah
2. Membujuk penumpang untuk mau mematikan ponselnya karena tidak harus menunggu lama hingga mereka boleh menyalakannya kembali
Kedua cara tersebut, membutuhkan pesawat untuk dipasang sistem dan perangkat konektivitas.
Sekarang kembali ke cerita business jet tadi… Akhirnya, perusahaan memutuskan untuk menginstal sistim dan perangkat konektivitas pada armada pesawat jet perusahaan. Walaupun tidak jelas apakah itu WiFi saja atau termasuk layanan GPRS, tapi kita bisa menebak bahwa kedua poin tersebut berhasil. Sekarang, apakah masih ada laporan gangguan pada fase approach di pesawat yang telah dipasang sistem dan perangkat konektivitas? telah ada yang terintegrasi dengan konektivitas berakhir dengan masalah gangguan lebih selama pendekatan? Sepertinya tidak.