Hari ini saya menulis ini di halaman pribadi Facebook saya:
Aneh… Sudah disuruh bayar type rating sendiri, kontraknya diikat lebih dari 10 tahun dengan alasan termasuk captaincy? Gak masuk akal. Captaincy ikatannya misah dong.
#PerbudakanMasaKini … Apakah common sense sudah dibuang?
Ada apa gerangan? Di-tengah² debat apakah Indonesia kelebihan atau kekurangan pilot (yang tentunya pendapat saya akan saya tulis nanti), saya ingin bahas mengenai masalah lain di lini penyediaan pilot, yaitu, KONTRAK. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menurut saya sudah tidak lagi kekurangan pilot, tetapi kekurangan uang untuk pelatihan pasca sekolah terbang.
Sebelum ada yang teriak, “Gak mungkin! Ngawur ini! Airline² pada pesen pesawat kok anda nulis mereka tidak ada uang untuk training?” mari kita lihat dulu apa sih pelatihan pasca sekolah terbang?
- Penyetaraan standar: Maskapai² besar memerlukan pilot² yang sudah mengantongi Commercial Pilot License (CPL) dengan Multi-Engine Rating (ME) dan Instrument Rating (IR). Bagi yang belum memiliki ini dah diterima oleh airline, ya ada yang harus bayarin ME dan IRnya.
- Type Rating: Pilot² baru butuh mengantongi Type Rating (TR), yaitu pelatihan mengenai tipe pesawat yang mereka akan terbangi, dari pengetahuan sistim² pesawat hingga prosedur² darurat hingga handling (di simulator, lalu base training di pesawat).
- Endorsements: Bilamana pelatihan² dan/atau pendidikan dilakukan diluar negeri maka butuh disahkan untuk digunakan di Indonesia, ini ada biayanya lagi.
- Mandatory Training: Hal² seperti basic indoctrination (hal² mengenai perusahaan, peraturan² perusahaan), lalu Crew Resource Management (CRM) training, Emergency Training, Wet Drill, Dangerous Goods, dll.
Dari hal² diatas, yang biasanya merupakan komponen biaya besar adalah porsi Type Rating. Dulu, ini biasanya ditanggung oleh pihak maskapai ditukar dengan jaminan masa kerja (Training Bond period), dimana nilai yang biasanya sekitar $25000 hingga $35000 untuk TR sang pilot adalah investasi yang dikeluarkan oleh maskapai. Bila misalnya anda keluar sebelum masa jaminannya selesai (misal, 5 tahun), anda akan diminta untuk membayar biaya training tersebut baik secara menyeluruh atau pro-rata tergantung dengan kontrak.
Namun 10 tahun yang lalu, jamin-menjamin yang versi klasik ini mulai berubah karena pesatnya pertumbuhan maskapai yang memerlukan pilot lebih banyak dibanding jumlah pilot yang tersedia, yang akhirnya menghasilkan bajak-membajak pilot dari satu maskapai oleh maskapai lain. Satu hal yang timbul adalah, Transfer Fee, seperti pemain sepak bola. Guna Transfer Fee ini adalah untuk membayarkan Training Bond yang tersisa guna sang pilot bisa pindah ke tempat yang baru. Desperation dari maskapai² untuk mencari pilot, membuat Training Bond tersebut menjadi cenderung murah, karena maskapai² mulai berani membayar Transfer Fee yang jauh melebihi Training Bond.
Alhasil dari inflasi Transfer Fee ini adalah inflasi pada Training Bond juga. Training Bond yang tadinya nilai setara dengan biaya trainingnya, mulai naik. Training Bond yang tadinya hanyalah $20000 – $30000, mulai naik. Kegilaan bajak-membajak pilot ini juga mengakibatkan terjadinya inflasi pada biaya Type Rating training, yang dulunya hanya $15000-$25000, sekarang menjadi $22500-$35000. Alhasil, Training Bond pun melunjak, menjadi $35000, bahkan $45000, dan sudah ada yang menjadi $100000!
Inflasi Transfer Fee ini tidak menghentikan bajak-menbajak pilot antar airline, dan kadang menjadi lahan sumber uang sampingan bagi beberapa orang. Kekurangan pilot yang dianggap cukup kronis pun membuka lahan baru bagi kaum oportunis, yaitu dengan adanya Pay-To-Fly Warga Negara Asing (P2F) . P2F ini tadinya berasal dari adanya pilot² asing yang menganggur di negara asal mereka, mencari jam terbang dengan bekerja di Indonesia yang sedang kekurangan pilot. Merekapun bersedia membayar Type Rating sendiri. Namun, ujung²nya ini menjadi industry P2F, dimana maskapai (atau oknumnya) bekerjasama dengan agen P2F yang menyalurkan pilot² muda dari luar ke Indonesia, dengan dibayar biaya yang mahal oleh pilot² P2F. Di 2007, P2F masih berbiaya “at cost” dengan biaya training, plus biaya jasa keimigrasian. Namun di 2010, biaya P2F sudah melunjak menjadi $30000 hingga $40000, bahkan ada beberapa yang mengeluarkan $50000 lebih. Disinilah akhirnya pilot² Indonesia mulai tersingkirkan, karena maskapai tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menerima P2F, sedangkan untuk pilot² local, mereka harus mengeluarkan biaya Type Rating lagi.
Safety Risks arising from Financial Disincentive to Selective Pilot Acceptance
Mulai dari 2011, kawan² saya yang selesai sekolah terbang, mulai merasa susah mencari kerja karena mereka selalu kalah dengan P2F. Mereka² yang sudah diterima pun, training-nya kalah prioritas dengan P2F. Namun ada dampak yang lebih buruk dari maraknya P2F, yaitu SAFETY!
Mayoritas dari kecelakaan² dan insiden² serius maskapai swasta dari 2009 hingga 2012 melibatkan minimal adanya 1 pilot P2F WNA yang sedang bertugas didalam kokpit. Kebanyakan dari P2F yang terlibat di kasus² tersebut berasal dari salah satu negara yang ditemukan banyak pemalsuan logbook bahkan license. Kecelakaan² tersebut biasanya diakibatkan oleh unstable approach yang merupakan resiko yang dihadapi pilot² baru dengan disiplin mental rendah karena gampang terbuai dengan apa yang kita namakan get-there-itis ketika hendak mendarat.
Saya tidak main² mengenai resiko dari P2F. European Cockpit Association (federasi asosiasi² pilot se-Eropa) mengatakan bahwa P2F selain merupakan safety risk, P2F juga merupakan eksploitasi/perbudakan masa kini.
Bedanya P2F WNA di Indonesia, maskapainya masih menggaji mereka karena WNA tersebut harus menerima upah atas jasa kerjanya di Indonesia.
Banyaknya uang yang dikumpulkan oleh agen, oknum, dan lain², serta banyaknya insiden² yang melibatkan pilot² P2F WNA, maka Indonesia akhirnya memutuskan untuk menutup pintu bagi P2F WNA dengan mengharuskan pilot² WNA mengantongi 250 jam terbang di tipe yang akan mereka terbagi di Indonesia.
Tentu kabar tersebut seharusnya menjadi kabar baik bagi pilot² muda di Indonesia, namun, sekarang di 2016, Indonesia memiliki 500-900 pilot yang menganggur. Diluar masalah short-term market correction yang mengakibatkan berkurangnya penambahan armada pesawat di Indonesia, keluhan² dari pilot² muda ini juga ada pada beban finansial yang harus mereka tanggung bila menerima kerja di maskapai.
Training Bond ajaib sebagai akibat dari P2F WNA
Salah satu dampak terbesar dari era P2F WNA di Indonesia adalah berubahnya posisi maskapai dari “Saya butuh banget pilot,” menjadi, “Oh, loe mau jadi pilot?” Maskapai² pun sadar bahwa biaya type rating yang besar ini tidak harus menjadi tanggungan mereka. Mulailah, beberapa maskapai membuka lowongan kerja dengan kondisi bahwa Type Rating harus dibayar oleh calon pilot tersebut. Disini posisi maskapai bukannya benar atau salah, tapi bisa dimengerti, karena ada juga maskapai yang mendanai type rating pilot yang akhirnya keluar tanpa mengganti rugi biaya karena masalah teknis di kontrak.
Namun ada beberapa aspek yang jadi pertanyaan disini yang timbul dari beberapa calon pilot. Misal, untuk masuk ke airline tersebut disebutkan biaya Type Rating yang harus saya keluarkan adalah $45000 – $50000. Buat saya, itu mahal sekali karena saya bisa membayar Type Rating saya sendiri, di tempat yang setara dengan $30000-$35000. Mungkin anda akan berpikir, “ya sudah, ambil aja yang lebih murah!” Bisa saja, cuman lingkaran setan lagi nanti.
Kenapa kok lingkaran setan? Begini, karena bisa saja dijelaskan, “Tempat anda ngambil TR tersebut tidak approved buat airline ini, jadi kalaupun anda tetap mengambil jalan itu, anda akan tetap harus ambil TR lagi yah.” Padahal sebenernya bisa dengan Sim Check, dan kalau kita ngotot untuk itu, jangan kaget kalau nanti total biayanya untuk sim checknya bisa² lebih dari 2x selisih ambil TR lewat agen untuk maskapai tersebut dan ambil sendiri. Jadi ujung²nya, “Kalau anda mau TR di tempat yang nanti bisa terbang ama kita, anda harus sign kontraknya dulu.” Inilah realita dunia penerbangan kita.
Maskapai yang diatas tadi sebenarnya masih tidak apa² karena tidak ada bond (ikatan jaminan) lagi bagi si pilot baru. Namun ada maskapai lain yang sekarang meminta calon pilot untuk tanda tangan kontrak dimana tertera sang calon pilot harus membayar Type Rating yang cukup mahal, dan masih di bond untuk 12 tahun, dimana nilai jaminannya senilai harga Type Rating itu sendiri. Buat saya ini sudah gila! Mungkin pembelaan bagi si maskapai adalah, “Bond-nya sudah termasuk Captaincy.”
OK, lalu kalau Captaincy-nya fail bagaimana? Apakah masih harus bayar bond nya? Atau masih diikat 12 tahun padahal dia tidak ingin jadi kapten di maskapai tersebut? Ini kan sama aja “hanya mau menerima pilot yang bisa masuk karena punya duit” dan kita harus ingat, sebelum ini, di jaman kita banyak ada P2F WNA, coba ada berapa accident dan serious incident di Indonesia dalam waktu setahun? (Mohon diingat, bahwa di 1 maskapai saja, setelah mereka menghentikan P2F WNA, accident and serious incident rate mereka turun 95% dalam waktu 1 tahun).
Jika airline bertanggung jawab akan keselamatan penerbangan mereka, maka airline haruslah bertanggung jawab pada standar mutu pilot² yang mereka terima, dimana standar yang harusnya mereka terima adalah kemampuan sang calon pilot, bukannya kemampuan bayar sang calon pilot. Jadi menurut saya, maskapai seharusnya:
- Tidak meminta training bond untuk Type Rating dimana Type Rating dibayar oleh calon pilot. Jika maskapainya ngotot bahwa biaya mandatory training diluar Type Ratingnya adalah $50000, itu maskapai gila atau maskapai ditipu!
- Membayarkan biaya Type Rating dan Mandatory Training dengan jaminan Training Bond senilai biaya yang dikeluarkan atau lebih sedikit, namun tidak boleh jauh lebih tinggi.
Jika Training Bond yang dibebankan nilainya terlalu besar, maka ini adalah perbudakan jaman modern. Saya sendiri merasa tidaklah fair jika dari awal calon pilot dibebankan Training Bond dan Captaincy Bond. Masa jangka waktu yang wajar untuk Training Bond menurut saya tetap dibawah 10 tahun, dan 5 tahun untuk Captaincy Bond (yang diselenggarakan terpisah dari Training bond awal).
Training Bond yang terlalu berat akan menciptakan masalah sendiri
Training Bond yang terlalu berat menjadi dillema bagi para training provider. Saya ada rekan yang bekerjasama dengan facilitator di negara lain untuk Type Rating A320 dan Boeing 737NG, tetapi berkali-kali customernya (keluarga calon pilot) masih ada kekhawatiran akan dikenakan bond yang sama dengan perusahaan yang men-sponsor pelatihan mereka di perusahaan tersebut. Lingkaran setan bukan?
Salah satu maskapai yang dulu menjadi incaran banyak pilot² yang baru lulus, menerapkan sistim dimana Type Rating training tidak dibebankan ke peserta, alias gratis, dimana jaminan training bond nya berlaku 5 tahun dengan skema bayar “at cost” $35000 yang terdiri dari actual training cost plus endorsement dan mandatory training, yang berlaku dengan nilai penuh untuk 2 tahun pertama dan pro rata antara tahun ke-3 hingga ke-5. Bagi yang sudah punya Type Rating sendiri, pilot baru hanya dikontrak setahun dan denda biaya mandatory dan proficiency check senilai kerugiannya saja. Sayangnya kebijakan tersebut sekarang dirubah oleh HRD dan manajemen baru.
Perubahan kebijakan tersebutpun menjadi kekhawatiran bagi beberapa penerbang di maskapai tersebut yang akhirnya memutuskan untuk keluar. Di kata salah satu pilot, “Yang gini² bikin repot kalau HRD nya kerja sama nyari duit, alias jadi calo di rumah sendiri.”
Menurut pilot lain mengenai masalah ini, “Perlu extra effort untuk meyakinkan inlander baik yang jadi mandor maupun koeli bahwa mereka dijajah, apalagi kalau sudah senang dapat crew transport dan meal, (kalau diusik mengenai ini) nanti mereka malah bisa marah ke kita. Waktu saya mau tuntut uang PHK saja, baik van koeli maupun mandor malah bilang: ‘memang bisa? kan kasus sebelum sebelumnya terima aja kok anda mau nuntut.’ Sangat disayangkan bahwa untuk mereka yang perlu dituntut bukanlah hak-hak dasar tapi mobil antar jemput dan (uang) RON atau hak korupsi jam terbang.”
Diapun melanjutkan, “Dan men-treat pilot itu gampang² susah. Dikasih gaji diatas rata rata, terbang sesuai aturan, asuransi benefit bagus, begitu salah sikap, salah komunikasi, atau salah message mengenai kondisi perusahaan, apalagi janji palsu, cabut-lah mereka.”
Kesimpulan: JANGAN SAMPAI TIMBUL P2F WNI!
Mungkin akan ada yang membela kebijakan ini dengan, “kalau tidak di bond akan susah, pada kabur pilotnya sehabis masa bond.” Mungkin ada benarnya, tetapi kalau mereka bersikeras berpendapat seperti itu, yang rugi sebenernya mereka² sendiri (terutama perusahaan), dan manajemen yang kurang jeli ngelihat dampak jangka panjang dari skema² seperti ini. Tentu dengan Training Bond yang aneh² kualitas applicant yang akan mereka terima akan menurun, dan ujung²nya ini akan menimbulkan cost² yg lain. Wajar tidak kalau yang duduk didepan (kokpit) itu duduk disitu karena sanggup membayar dan bukan karena dia yang terbaik diantara calon² yang lain? Apakah itu meningkatkan resiko kepada publik? Tidak hanya itu, kalau sang pilot yang duduk didepan kokpit itu menerbangkan pilot anda, dan dia masih diikat ganti rugi yang seharusnya bukan menjadi beban dia, bukankah factor resiko yang sudah lebih tinggi dari biasanya ini akan jauh meningkat?
Sudah waktunya Direktorat Jendral Perhubungan Udara dan/atau Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan panduan/guideline mengenai apa yang wajar dan tidak dalam hal post flying school training costs.
Terima kasih pak Gerry untuk artikel pencerahanya, semoga dapat menambah pertimbangan anak saya yg ingin sekolah pilot setelah lulus sma tahun ini.