Tadi pagi saya membuka Facebook group IlmuTerbang dan saya membaca sesuatu yang buat saya menjengkelkan namun memang masalah di penerbangan Indonesia, yaitu seorang kapten tidak mau terbang dengan alasan yang mengada-ada dan sepertinya mencoba membodohi Flight Operations Officer/Dispatcher yang sedang bertugas.
Kejadiannya ringkasnya sebagai berikut:
- Rute Jakarta Soekarno-Hatta (CGK/WIII) menuju Bali Ngurah Rai (DPS/WADD)
- Salah satu runway di Jakarta Soekarno-Hatta (CGK/WIII) ditutup pada saat itu (25L/07R)
- Cuaca di CGK/WIII above landing minima and no other airports open between CGK/WIII and DPS/WADD
- Kapten flight tersebut meminta disediakan take-off alternate, dengan dasar, “kalau terjadi apa² dan runway yang tersisa terblokir” maka dia tidak bisa menggunakan runway tersebut di CGK/WIII untuk kembali dengan mengutip company manual yang menyatakan: “If airport of departure weather conditions below landing minima of that airport has specified or other reasons, no person may dispatch or release an aircraft from that airport unless the dispatch or flight release specifies an alternate airport located within the following distances from the airport of takeoff”; penekanan oleh Kapten adalah flight tidak legal karena selain weather minima terdapat statement “other reasons” di manual tersebut.
- Sang Dispatcher-pun berupaya untuk berkoordinasi dengan Air Traffic Services (termasuk Tower) dan mendapatkan jawaban bahwa bila terjadi kondisi darurat, maka landasan yang ditutup pun bisa dibuka dalam waktu 5 – 10 menit dengan menyingkirkan peratan² berat yang digunakan untuk pekerjaan di salah satu exit taxiway si runway tersebut.
- Namun tetapi si Kapten lanjut meminta aspek legal dari pernyataan tersebut (meminta Dispatcher mendapatkan pernyataan tertulis dari Tower) karena tidak ada pernyataan tersebut di NOTAM. Kapten pun memutuskan untuk menunda penerbangan sambil menunggu bandara Surabaya buka di pagi hari untuk digunakan sebagai take-off alternate.
Saya sedikit terganggu dengan alasan sang Kapten tersebut. Apakah beliau tidak akan mau berangkat dari bandara yang hanya single runway kalau tidak ada take-off alternate? Kalau beliau mau, kenapa di kasus ini tidak?
Namun saya lebih terganggu lagi dengan permintaan beliau menggunakan Surabaya sebagai take-off alternate, karena sebuah take-off alternate (untuk pesawat dengan mesin 2) itu harus bisa dicapai dalam waktu 60 menit dengan 1 mesin mati. Saya iseng² buka Quick Reference Handbook untuk Boeing 737-800/900ER dan Airbus A320, dan saya menemukan bahwa untuk ke Surabaya (374 nautical miles kalau garis lurus bukan menggunakan airways) dengan 1 mesin membutuhkan waktu 1 jam 3 menit dan 1 jam 10 menit. Jadi bilamana Kapten meminta Surabaya sebagai take-off alternate dan Dispatcher memberikannya, flight tersebut sudah secara teknis melanggar ketentuan Civil Aviation Safety Regulation Indonesia, khususnya CASR 121.617(a).
Tugas dispatcher adalan mengakomodir semua pemintaan dari technical crew (pilot) selama masih berada dalam batas operasional dan batasan² lain sesuai SOP dan pedoman perusahaan. “Kalau limit dan constraint based on personal criteria ya bukan airline namanya,” ucap salah satu kawan saya yang bekerja di manajemen operasi salah satu maskapai Indonesia.
Menurut saya, alasan seperti yang diceritakan, terlalu mengada-ada. Prinsip aviation safety adalah mengantisipasikan reasonable and foreseeable factors, dan bukan semua faktor yang bisa keluar dari imajinasi pihak² yang terlibat. Para crew dan dispatcher juga seharusnya menerapkan prinsip aeronautical decision making process untuk me-manage risk se-optimal mungkin. Sudah nggak jaman lah menghalangi operasi dengan alasan² seperti itu.
Namun kenapa hal² seperti ini masih terjadi di jaman sekarang? Saya rasa ini ada hubungannya dengan operating environmental culture jaman sekarang yang terintimidasi oleh ancaman² dari kejahilan tercampur ketidaktahuan oleh oknum² regulator dan operator, dimana kalau terjadi apa² azas yang digunakan terlihat seperti “salahkan dan berikan sanksi dulu baru analisa kemudian.” Inilah akibat dari environment tersebut dimana semua pihak bukannya me-manage resiko sebaik mungkin tetapi malah menghindari resiko dan lempar tanggung jawab atau malah menyulitkan hal² yang sebenarnya adalah lumrah dan/atau sepele.
Kenapa? Apa bedanya dia berangkat dari CGK/WIII dengan 1 runway ditutup dengan berangkat dari bandara² single runway di sekeliling Indonesia di waktu² dimana take-off alternate tidak tersedia dan tidak dibutuhkan? Tidak ada. Landasan bisa saja terblokir kapan saja kok.
Lalu sadarkah Kapten dan Dispatcher yang terlibat bahwa menggunakan Surabaya sebagai take-off alternate dari CGK/WIII itu kemungkinan besar salah bahkan illegal. Sadarkah bahwa jika terjadi apa² dan pesawat gagal mencapai take-off alternate tersebut, ke-ngotot-an untuk menetapkan Surabaya sebagai take-off alternate malah bisa dianggap kesengajaan untuk berbuat kesalahan yang membahayakan keselamatan penerbangan? Dispatcher-nya sadar tidak bahwa tanda tangan dia juga ada di Dispatch Release Form?
Ironisnya disini, bahwa paranoia lebay mengenai keselamatan ini malah berpotensi membuka resiko/kesalahan terhadap keselamatan penerbangan, bukan meningkatkan keselamatan. Menghilangkan resiko dalam penerbangan itu tidak mungkin, yang ada adalah bagaimana me-manage resiko sebaik mungkin. Kalau tidak mau ada resiko, gampang, hentikan saja penerbangan. Mau gerakin pesawat di darat saja sudah ada tingkat resikonya. Mau berangkat dari rumah ke bandara saja sudah ada tingkat resikonya. Kalau tidak mau ada resiko, ya hentikan saja semua. Nah, kalau sampai begitu kan kita sudah melanggar azas reasonable and foreseeable risk management bukan? Mari kita tingkatkan keselamatan penerbangan dengan pandai dan cermat.
Ulasan ini berasal dari diskusi di Facebook Group – Ilmuterbang (klik disini untuk langsung ke diskusi tersebut).
Edit tambahan: Pembaca artikel ini diingatkan bahwa 60 minute take-off alternate distance limit dan EDTO 60 minute boundary bisa menghasilkan/menggunakan angka yang berbeda-beda. Sudah banyak negara dan/atau perusahaan di dunia ini yang menggunakan EDTO 60 minute boundary sekitar 410NM hingga 420NM (atau angka lainnya sesuai approval yang didapatkan) sebagai batas jarak untuk mencapai take off alternate distance. Namun masih ada beberapa negara (termasuk Indonesia) yang masih menggunakan “60 minute OEI cruise speed” sebagai patokan, dan beberapa maskapai pun ada yang memilih batasan yang lebih restrictive lagi.
(ditambahkan pada: 2016-01-20/1538UTC)