Sudah diprediksi, bahwa ketika Air Asia (Baik AK maupun QZ) mengumumkan bahwa mereka akan terbang ke Semarang, nasib rute Air Asia ke Solo sudah “tinggal menghitung waktu.”
Bandara Adi Sumarmo, Solo – Terminal baru, tetapi akan ditinggal Air Asia. (Photo oleh: Pizzaboy1 (Creative Commons)) |
Beberapa tahun silam, Indonesia Air Asia (QZ) berhenti melayani Solo, yang kemudian hanya dilayani oleh Malaysia Air Asia dari Kuala Lumpur. Lalu Indonesia Air Asia mulai melayani penerbangan dari Yogyakarta ke Jakarta dan Singapura, sedangkan Malaysia Air Asia mulai menerbangkan Yogyakarta-Kuala Lumpur.
Bulan lalu Indonesia Air Asia dan Malaysia Air Asia mulai terbang ke ibukota Jawa Tengah, Semarang, dan bulan ini, Indonesia Air Asia mulai terbang rute Denpasar-Yogyakarta, lalu, Malaysia Air Asia mengumumkan bahwa rute Solo akan ditutup.
Industri pariwisata di Solo tentunya mengamuk. Dari tanggal 02 September nanti, satu²nya penerbangan internasional dari Solo adalah Silk Air ke Singapura. Investasi PemDa setempat untuk promosi pariwisata Solo bisa hangus tanpa hasil, jadi wajar bila PemKot Solo meminta Air Asia menunda penutupan rute Solo.
Mari kita lihat faktor² yang mempengaruhi keputusan tersebut”
Yang dilihat Air Asia:
Air Asia tidak akan menutup rute jika angka²nya mendukung, salah satunya adalah “passenger yield” (pendapatan per penumpang). Load factor nya untuk Solo saja naik-turun (yield nya bisa diperkirakan rendah), dan rute tersebut tidak seuntung rute² dari/ke Yogyakarta.
Faktor Sektor Pariwisata:
Pasar pariwisata Yogyakarta lebih besar dari Solo. Jarak antara Yogyakarta dan Solo yang dekat selalu akan menjadi tantangan berat untuk Bandara Solo. Kedua kota tersebut meng-klaim identitas mereka sebagai “Pusat Kebudayaan Jawa.” Dari masa lalu, kedua kota ini selalu berkompetisi. Keluarga kerajaan (Kesultanan Yogyakarta dan Kasusuhunan Solo) kedua kota tersebut juga bersaing berat (sampai akhirnya Yogyakarta pun pisah setelah perang di tahun 1800-an).
Candi Borobudur yang sangat terkenal, lokasinya dekat dengan Yogyakarta, dan cara paling cepat kesana dari Solo, adalah melalui Yogyakarta.
Kraton Yogyakarta masih berfungsi, selain masih digunakan oleh Kesultanan, kraton juga berfungsi sebagai pusat simbol pseudo-government Yogyaarta (meskipun kepemerintahan modern dilakukan di lokasi lain). Mudah untuk menebak Kraton mana yang lebih terpelihara diantara kedua kota tersebut.
Candi terkenal lainnya, Prambanan, lokasinya berada diantara Solo dan Yogyakarta.
Pasar pariwisata Semarang pun juga sedang berkembang, dibantu dengan lokasinya yang ideal untuk atraksi² di pantau utara Jawa Tengah, dan juga memiliki jalur transportasi darat yang bagus dengan Yogyakarta.
Singkatnya, sepertinya sudah jelas pasar mana yang lebih bagus.
Faktor Sektor Bisnis:
Yogyakarta memiliki prospek pasar bisnis yang lebih lebih bagus. Untuk propinsi Jawa Tengah, pusat bisnisnya adalah Semarang, sehingga Solo lebih tergantung pada pasar pariwisatanya.
Mayoritas aktifitas bisnis di Jawa Tengah, berada di pantai utara (yang terhubung dengan Semarang), dan koridor darat antara Semarang dan Yogyakarta. Yogyakarta sendiri pun juga berfungsi sebagai pusat bisnis untuk pantai selatan Jawa Tengah karena lokasinya yang mendukung.
Prospek kedepan untuk Semarang dan Yogyakarta:
Kondisi ekonomi Indonesia yang cukup bisa bertahan di suasana ekonomi global yang suram, juga berarti bahwa aktifitas bisnis akan terus meningkat, yang akan menghasilkan peningkatan jumlah penumpang yang melakukan perjalanan karena alasan bisnis. Semarang dan Yogyakarta udah berencana dalam hal ini. Semarang sudah merencanakan ekspansi besar bagi Bandaranya dimana terminal baru dengan apron yang luar akan dibangun di sisi utara landasan untuk menggantikan terminal yang sekarang yang kecil dan apron yang hanya bisa menampung 5 pesawat jet dengan pas²an. Bandara Yogyakarta pun juga sudah padat, dan pelebaran apron serta penambahan taxiway untuk mempermudah alur traffic sedang dilakukan. Namun Yogyakarta sendiri juga berencana lebih jauh dengan rencana pembangunan bandara baru untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan.
Penerbangan ke Semarang dan Yogyakarta masing² lebih banyak daripada Solo, sehingga kedua kota ini lebih atraktif bagi airline dibanding Solo. Yogyakarta juga adalah satu²nya kota di Indonesia saat ini yang akses Bandaranya bisa menggunakan kereta api, dan kereta api yang singgah di Bandara, melayani Yogyakarta DAN Solo.
Sepertinya, masa depan Bandara Solo terlihat curam.
Apakah masih ada harapan bagi Solo?
Tentu saja! Namun jika tidak ada yang mengambil aksi yang benar dan cepat, Solo akan tertinggal.
Sisi depan terminal baru Bandara Adi Sumarmo Solo. Dibangun di tahun 90-an, baru dibuka di tahun 2009. |
Salah satu kelebihan Solo adalah terminalnya yang baru. Namun Pemerintah Kota Solo dan Pemerintah Kabupaten Boyolali harus melihat Bandara Adi Sumarmo sebagai alat penarik bisnis, bukan sebagai mesin cetak kas yang bisa diperah. Stakeholders Bandara Adi Sumarmo adalah kedua pemerintahan tersebut, sayangnya, Pemerintah Boyolali memutuskan untuk memungut uang dari penumpang yang menggunakan Adi Sumarmo, yang tidak termasuk dalam Passenger Service Charge atau Airport Tax.
Hal sepele ini, meninggalkan kesan yang kurang baik bagi Bandara Adi Sumarmo. Pungutan ini, diambil secara terpisah dari Airport Tax. Semarang dan Yogyakarta tidak membebankan biaya atau pungutan terpisah dari penumpang.
Dengan bertumbuhnya angka penumpang penerbangan di seluruh Indonesia, cepat atau lambat, akan ada bandara² baru yang dibangun, dan bandara² di daerah atau kota tetangga akan berkompetisi dengan bandara yang ada di daerah atau kota kita. Pemerintah² daerah dan kota, harus mulai melihat bandara sebagai alat penarik bisnis dan investasi, bukan sebagai sapi perahan!
Untuk masalah catchment area, Solo harus melihat ke timur. Tidak ada bandara yang melayani penerbangan sipil antara Solo dan Surabaya. Ini adalah potensi yang besar. Stakeholders bandara Adi Sumarmo harus mencara cara untuk merealisasikan potensi ini, mereka tidak bisa hanya duduk dan menunggu realisasi tersebut. Diantara Solo dan Surabaya, ada Madiun, tempat Lanud TNI-AU yang dulu sempat menjadi Lanud terbesar di Indonesia, dan sekarang adalah Lanud Militer terbesar di Indonesia. Kalau kita melihat contoh dari Malang (di selatan Surabaya) yang sekarang sedang menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat setelah LanUd AU membuka peluang untuk pelayanan penerbangan sipil, bagaimana jika Madiun juga membuka peluang yang sama (meskipun kemungkinannya sangat tipis)? Jika ini terjadi, pasar bagi Bandara Adi Sumarmo Solo hanya akan menyusut lebih jauh.
Namun jika Solo dan Bandaranya terus berpikir seperti ARTIKEL INI, mungkin sebaiknya mereka menyerah saja dari sekarang.
Salam kenal…
Apakah load factor dan yield SOC KUL turun sejak dibuka SRG KUL? Soalnya sepertinya rute ini aman-aman saja sebelum dibuka SRG KUL.
Dan bagaimana load factor dan yield SRG KUL? Apakah selama ini bagus dan bisa bertahan?
Terima kasih…
Permasalahan load & yield SOCKUL keliatan dari sejak JOGKUL dibuka. Pasar SOCKUL hampir seluruhnya pariwisata, JOGKUL, bisnis dan pariwisata. Untuk SRGKUL, mayoritas bisnis tapi pariwisatanya ada sedikit.
Load Factor untuk SRGKUL mungkin lebih sedikit dari SOCKUL, tetapi dikabarkan lebih stabil dan yield lebih bagus. SOCKUL seasonal fluctuationnya paling2 bikin pusing…